Rabu, 26 November 2014

1

Kebanyakan penulis-penulis sajak yang timbul akhir-akhir ini kelihatannya cenderung berdiri dan memegang spanduk yang tertulis idea dan perjuangan mereka yang kelihatan amat terburu-buru. Tak diketahui sebabnya kenapa sajak dipilih sebagai pengantarnya. Mengapa bukan esei? Mengapa bukan novel? Mengapa bukan sekadar laungan suara? Mengapa harus mendera sajak?

I have nothing against the new kids on the block tapi hal seperti ini sedikit sebanyak menunjukkan betapa penulis itu tidak peduli tentang kepentingan kata, sekaligus menunjukkan betapa lemahnya penguasaan mereka terhadap fungsi kata dalam sesebuah sajak. Sebuah sajak yang bagus mempunyai sifat simbolik yang kukuh dan berkesan: sifat simbolik ini disampaikan melalui pilihan kata yang tepat, sekaligus menghadirkan kesan visual kepada para pembacanya. 

"Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea", demikian ujar Sutarji Calzoum Bachri dalam kredo puisinya. Dengan kenyataan sedemikian, dia bukanlah mengatakan bahwa kata itu harus bebas dari makna asalnya. Maknanya tetap jelas tetapi lewat penggunaan dan kedudukan kata tersebut dalam sesebuah sajak, maka lahirlah sebuah visual/gambaran yang setepatnya tentang apa yang kelihatan di mata si penulis.

Sekarang, bayangkan jika sesebuah sajak itu digarap dengan idea dan kata-kata yang tersusun untuk menunjukkan betapa jelasnya keinginan si penulis untuk menyuarakan perjuangannya, bukankah perjuangan itu ternyata lebih bermakna dan menimbulkan ghairah, bukan saja dalam diri penulis itu sendiri malah terhadap pembacanya?

"Ketidaktahuan, atau mungkin sikap acuh tak acuh, terhadap peran kata-kata inilah yang telah menghasilkan sajak-sajak membosankan akhir-akhir ini. Kalau penyair menganggap bahwa yang utama adalah "ide", dan kata-kata dengan demikian menduduki tempat kedua, maka ia pun tak menciptakan puisi tetapi memberi anjuran pernyataan atau keterangan." - Sapardi Djoko Damono

Tiada ulasan:

Catat Ulasan